Kamis, 19 Januari 2023

Relevansi Penerapan Otonomi Daerah Saat Ini

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasca reformasi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Karena kondisi zaman yang berubah, UU No.22/1999 dan UU NO.25 Tahun 1999 mengalami revisi menjadi UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, namun UU 32 Tahun 2004 mengalami perubahan lagi hingga dibentuk UU No.23 Tahun 2014 yang disebabkan masih banyaknya kelemahan dan dianggap tidak relevan lagi dengan masa kini. 

Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pemerintahan daerah di Indonesia hanya mengikuti pemerintah pusat begitu saja. Pemerintah daerah hanya menerima program dari pemerintah pusat yang menyebabkan kesamaan program di setiap daerah dan tidak terjadinya pemerataan pembangunan yang hanya dipusat saja dan tidak relevan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Akan tetapi, setelah adanya otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri karena pemerintah daerah lebih mengetahui tentang kebutuhan dan pembangunan daerahnya dibandingkan dengan pemerintah pusat yang mengatur banyak daerah sehingga tidak relevan dan efektif dalam melaksanakan kebutuhan dan pembangunan daerah-daerah. Dalam tatanan normatif, ada hukum yang berlaku secara nasional dan ada hukum yang spesifik berlaku secara lokal/daerah. 

Pada masa sekarang ini, pemberlakuan otonomi daerah menurut saya masih relevan. Melihat perbedaan antara daerah yang tentunya juga mempunyai potensi yang berbeda antar daerah masing-masing, memberlakukan otonomi daerah dirasa sangat tepat. Desentralisasi daerah diharapkan menjadi satu pilihan kebijaksanaan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional, kita tidak bisa menutup mata terhadap persoalan yang dihadapi bangsa sekarang ini, otonomi merupakan salah satu opsi kebijaksanaan dalam meningkatkan derajat keadilan sosial guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijakan yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini diyakini bisa menjamin segera terwujudnya good local governance. Apalagi jika dibandingkan secara dikotomis dengan praktik sentralistik di masa lalu yang meminggirkan sebagian besar komponen masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi politik dan moral yang sangat kuat. Dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada good governance maka pembangunan daerah dan strategi apapunyang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab elite politik, elite birokrasi, dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri. 

Batubara, Alwi Hasyim, “Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah,” Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006, hal. 2-3 

Harahap, Baginda, “Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Perspektif Kepentingan Nasional Dan Kepentingan Daerah (Ic. Kasus Batam Sebagai Model)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor 4, Oktober - Desember 2002, hal. 425 

Manalu, Simon Bolivar. “Konsep Otonomi Daerah, Good Governance, dan Reinventing Government dalam Pembangunan Daerah”. https://www.kompasiana.com/simonmanalu/54f97771a333111a648b46a8/konsep-otonomi-daerah-good-governance-dan-reinventing-government-dalam-pembangunan-daerah?page=all

LEMBAGA PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkannya sumber atau landasan hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undang-undang untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masing-masing. Hal seperti ini juga terjadi di negara kita Indonesia. Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No, 45 Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam 1991. Dengan undang-undang atau peraturan seperti ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis. Dari beberapa undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa permasalahan hukum Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan. Secara umum, lembaga Islam memiliki beberapa fungsi pokok, diantaranya adalah : 1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat muslim tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat, terutama kebutuhan yang menyangkut kebutuhan pokok. 2. Memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem tertentu yaitu sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya. 3. Menjaga keutuhan masyarakat. Dari beberapa fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas bahwa apabila seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, maka ia harus memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku masyarakat yang ada di Indonesia, seyogyanya harus dipelajari dan di perhatikan dengan seksama mengenai lembaga-lembaga Islam yang mempengaruhi bahkan menentukan pola tingkah laku dan sikap hidup umat Islam. MAJELIS ULAMA INDONESIA Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk: 1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT. 2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. 3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah). 4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam. B. FUNGSI MAJELIS ULAMA INDONESIA Fungsi dan peran utama MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti). 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah). 4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar. C. HUBUNGAN MUI DENGAN PIHAK LUAR Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Namun perlu ditegaskna bahwa kemandirian tidak berarti menghalangi Majelis Ulama Indonesia untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa dirinya hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam dimana dirinya menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidupberdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam). D. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Arah Kiblat Majelis Ulama Indonesia (MUI) meralat fatwa No 03 Tahun 2010 tentang Kiblat. Arah kiblat yang sebelumnya disebutkan menghadap barat kini telah direvisi menjadi ke arah barat laut. Letak Indonesia tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak barat pas tapi agak miring yaitu arah barat laut. Fatwa yang diralat tersebut adalah fatwa yang dikeluarkan MUI Tanggal 22 Maret 2010 lalu. Adapun diktum fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan: 1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah (ainul ka’bah). 2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Kabah adalah arah Kabah (jihat al-Ka’bah). 3. Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Kabah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat. 2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Pengharaman Merokok Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kontroversial. Melalui Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III mengenai pengharaman merokok.Ditetapkan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Sebagai bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi yang bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya (itsmuhu akbaru min naf`ihi). Dengan fatwa ini, para ulama dan kiai pesantren terlibat dalam pro dan kontra. Beberapa guru besar agama Islam dan ulama termasuk pengurus MUI daerah menolak pengharaman itu. Bahkan, Institute For Social and Economic Studies (ISES) Indonesia menyelenggarakan pertemuan tandingan yang diikuti para ulama kontra fatwa MUI, para buruh perusahaan rokok, dan petani tembakau, di Padang Panjang. Mereka meminta pencabutan fatwa MUI tersebut, karena dikhawatirkan akan menghancurkan ekonomi masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada bisnis tembakau ini. Dalam konteks itu, Ada beberapa hal yang perlu diketahui dan menjadi bahan pertimbangan: Pertama, keharaman rokok tidak ditunjuk langsung oleh Alquran dan Hadits, melainkan merupakan hasil produk penalaran para pengurus MUI, sehingga bisa benar atau keliru. Dengan demikian, keharaman rokok tak sama dengan keharaman khamr. Jika haramnya meminum khamr bersifat manshushah (ditunjuk langsung oleh teks Alquran), maka keharaman merokok bersifat mustanbathah (hasil ijtihad para ulama). Menurut para ulama ushul fikih, kata haram biasanya digunakan untuk jenis larangan yang tegas disebut Alquran dan Hadits. Sementara larangan yang tak tegas, tak disebut haram melainkan makruh tahrim. Kedua, yang menjadi causa hukumnya, menurut ulama MUI, merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. Dengan menggunakan mekanisme masalikul `illat dalam metode qiyas ushul fikih, alasan mencelakan diri sendiri tak memenuhi syarat dan kualifikasi sebagai illat al-hukm. Ia terlalu umum (ghair mundhabith). Sebab, sekiranya mencelakan diri sendiri ditetapkan sebagai causa hukum, maka semua barang yang potensial menghancurkan tubuh bisa diharamkan. Gula yang dikonsumsi dalam waktu lama bisa menimbulkan diabetes. Begitu juga makanan lain yang mengandung kolesterol tinggi bisa diharamkan karena akan menyebabkan timbulnya beragam penyakit. Karena itu, diperlukan keahlian sekaligus kehati-hatian dalam menentukan alasan hukum pengharaman sebuah tindakan. Para ahli ushul fikih sepakat bahwa causa hukum sebuah perkara, di samping ditetapkan nash Alquran dan Hadits, juga diputuskan oleh ulama yang telah memenuhi kualifikasi seorang mujtahid. Ketiga, merumuskan hukum (istinbath al-hukm) dan menerapkan hukum (tathbiq al-hukm) adalah dua subyek yang berbeda. Jika perumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam, maka menerapkan hukum memerlukan analisis sosial,ekonomi dan politik.

Konsep Negara Hukum Rule of Law

Konsep rule of law tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sistem hukum didunia modern. Rule of law telah menjadi konsep yang diterima disetiap negara sebagai suatu konsep dalam mengatur tata kehidupan bernegara yang menjanjikan sistem kenegaraan yang bebas dari penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, meski konsep ini belum tentu dipahami secara jelas bagi negara-negara berkembang, seperti indonesia, dalam penerapannya. Brian Z Tamanaha mendefinisikan rule of law, yaitu pejabat pemerintah dan warga negara terikat dan patuh terhadap hukum. Dalam definisi ini terkandung muatan bahwa didalam suatu masyarakat dimana aparat pemerintahanya dan warga negaranya terikat oleh hukum dan mematuhi hukum merupakan masyarakat yang hidup dengan aturan hukum. Hukum harus dapat diketahui secara umum, hukum harus memungkinkan untuk dapat diterapkan, hukum harus diterapkan sama terhadap setiap orang sesuai dengan maksud dan tujuannya, harus ada mekanisme atau lembaga yang menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran hukum. Definisi rule of law menurut Tamanaha sengaja tidak menyertakan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai elemen utama. Menurutnya, ada tiga alasan kenapa ia tidak memasukkan demokrasi dan hak asasi manusia dalam definisi minimalisnya. Pertama, demokrasi berkaitan dengan sistem pemerintahan yang berbicara tentang bagaimana aturan hukum dibuat. Sedangkan hak asasi manusia merupakan standar nilai yang terkandung didalam setiap aturan hukum yang dibuat. Dua hal tadi lebih tepat apabila masuk pada politik sistem hukum. Kedua, pendefinisian rule of law dengan menghadirkan prinsip demorkasi dan nilai-nilai hak asasi manusia menunjukkan seakan-akan hanya demokrasi liberal yang memiliki sistem hukum. Ketiga, rule of law memiliki fungsi sebagai alat legitimasi yang kuat dari suatu peraturan perundang-undangan dalam wacana global negara modern. Tamanaha mengkategorikan kesemuanya kedalam dua kategori besar, yaitu teori rule of law versi “formal” dan rule of law versi “subtantive”. Masing-masing berangkat dari tiga bentuk yang berbeda. Konsepsi formal rule of law hanya menyebut cara bagaimana suatu aturan diundangkan (apakah dibuat oleh lembaga yang berwenang), memiliki kepastian norma (apakah cukup jelas dalam menjadi panduan dalam berperilaku) dan memiliki dimensi waktu dari norma yang diundangkan (bagaimana prospek aturan tersebut). Formal rule of law tidak memberikan gambaran yang cukup berarti atas muatan atau isi dari peraturan perundang-undangan tersebut. Mereka tidak peduli apakah isi dari peraturan perundang-undangan tersebut baik atau buruk. Asalkan suatu peraturan perundangundangan tersebut sudah memenuhi syarat-syarat formal penyusunannya. Berbeda dengan mereka yang meyakini versi subtantif rule of law. Mereka menerima semua atribusi formal yang ada, tetapi ada kaidah yang lebih jauh lagi yang ingin dicapai, yaitu pendasaran atas hak mendasar manusia. Berkat konsepsi subtantif ini, kita dapat membedakan mana peraturan yang baik dan mana peraturan yang buruk. Perbedaan mendasar dari versi formal, ia hanya fokus pada sumber dan bentuk legalitas yg tepat, sedangkan versi subtantif lebih pada cakupan persyaratan tentang isi undang-undang yg biasanya disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan keadilan. Hukum menurut undang-undang merupakan versi teori formal rule of law yg paling lemah. Ia hanya berpandangan bahwa hukum adalah cara dimana negara menjalankan segara urusannya. Sepanjang urusan negara dijalankan sesuai dengan prosedur hukum yg telah ditetapkan, maka ia dianggap sudah menerapkan rule of law. Pemahaman formal akan rule of law disuatu negara memungkinkan negara tersebut menerapkan rule of law dengan melembagakan perbudakan secara legal, diskriminasi secara legal dan sebagainya. Maka rule of law perlu panduan “intuisi dasar” yg mana hukum harus mampu membimbing tingkah laku subjeknya”. Hukum modern tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang legalitas formal, karena ia memiliki jaminan akan kepastian penggunaan hukum terhadap hak seseorang. Hukum modern mewujud dalam peraturan-peraturan yg berfungsi sebagai panduan perilaku. Legalitas formal menjadi bagian dari tatanan masyarakat modern yg didominasi oleh sistem kapitalisme. Rule of law tidak dapat tumbuh subur dalam sistem ekonomi sosialis atau negara kesejahteraan sosial. Hal ini karena dalam sistem ekonomi sosial kurang atau tidak menghargai hak milik individu. Sama juga halnya dengan legalitas formal, demokrasi hukum juga belum menawarkan gagasan hukum yg dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Demokrasi hanya dianggap sebagai prosedur dalam menciptakan hukum, kandungan isi undang-undang tidak dipermasalahkan. Sepanjang aturan tersebut dibuat sesuai dengan standar demorkasi yg diatur dalam undang-undang, maka aturan tersebut tetaplah sah dalam sistem rule of law, meski aturan tersebut dapat juga melembagakan diskriminasi yg legal. Menurut Habermas, legitimasi hukum modern diperoleh dari gagasan bahwa setiap orang dapat menentukan nasibnya sendiri. Ia harus mampu memahami diri mereka sendiri agar dapat menuliskan hukum yg menjadi subjek yg ia terima. Tanpa legalitas formal, demokrasi kehilangan legitimasinya.

Relevansi Penerapan Otonomi Daerah Saat Ini

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mas...