Kamis, 19 Januari 2023

Konsep Negara Hukum Rule of Law

Konsep rule of law tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sistem hukum didunia modern. Rule of law telah menjadi konsep yang diterima disetiap negara sebagai suatu konsep dalam mengatur tata kehidupan bernegara yang menjanjikan sistem kenegaraan yang bebas dari penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, meski konsep ini belum tentu dipahami secara jelas bagi negara-negara berkembang, seperti indonesia, dalam penerapannya. Brian Z Tamanaha mendefinisikan rule of law, yaitu pejabat pemerintah dan warga negara terikat dan patuh terhadap hukum. Dalam definisi ini terkandung muatan bahwa didalam suatu masyarakat dimana aparat pemerintahanya dan warga negaranya terikat oleh hukum dan mematuhi hukum merupakan masyarakat yang hidup dengan aturan hukum. Hukum harus dapat diketahui secara umum, hukum harus memungkinkan untuk dapat diterapkan, hukum harus diterapkan sama terhadap setiap orang sesuai dengan maksud dan tujuannya, harus ada mekanisme atau lembaga yang menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran hukum. Definisi rule of law menurut Tamanaha sengaja tidak menyertakan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai elemen utama. Menurutnya, ada tiga alasan kenapa ia tidak memasukkan demokrasi dan hak asasi manusia dalam definisi minimalisnya. Pertama, demokrasi berkaitan dengan sistem pemerintahan yang berbicara tentang bagaimana aturan hukum dibuat. Sedangkan hak asasi manusia merupakan standar nilai yang terkandung didalam setiap aturan hukum yang dibuat. Dua hal tadi lebih tepat apabila masuk pada politik sistem hukum. Kedua, pendefinisian rule of law dengan menghadirkan prinsip demorkasi dan nilai-nilai hak asasi manusia menunjukkan seakan-akan hanya demokrasi liberal yang memiliki sistem hukum. Ketiga, rule of law memiliki fungsi sebagai alat legitimasi yang kuat dari suatu peraturan perundang-undangan dalam wacana global negara modern. Tamanaha mengkategorikan kesemuanya kedalam dua kategori besar, yaitu teori rule of law versi “formal” dan rule of law versi “subtantive”. Masing-masing berangkat dari tiga bentuk yang berbeda. Konsepsi formal rule of law hanya menyebut cara bagaimana suatu aturan diundangkan (apakah dibuat oleh lembaga yang berwenang), memiliki kepastian norma (apakah cukup jelas dalam menjadi panduan dalam berperilaku) dan memiliki dimensi waktu dari norma yang diundangkan (bagaimana prospek aturan tersebut). Formal rule of law tidak memberikan gambaran yang cukup berarti atas muatan atau isi dari peraturan perundang-undangan tersebut. Mereka tidak peduli apakah isi dari peraturan perundang-undangan tersebut baik atau buruk. Asalkan suatu peraturan perundangundangan tersebut sudah memenuhi syarat-syarat formal penyusunannya. Berbeda dengan mereka yang meyakini versi subtantif rule of law. Mereka menerima semua atribusi formal yang ada, tetapi ada kaidah yang lebih jauh lagi yang ingin dicapai, yaitu pendasaran atas hak mendasar manusia. Berkat konsepsi subtantif ini, kita dapat membedakan mana peraturan yang baik dan mana peraturan yang buruk. Perbedaan mendasar dari versi formal, ia hanya fokus pada sumber dan bentuk legalitas yg tepat, sedangkan versi subtantif lebih pada cakupan persyaratan tentang isi undang-undang yg biasanya disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan keadilan. Hukum menurut undang-undang merupakan versi teori formal rule of law yg paling lemah. Ia hanya berpandangan bahwa hukum adalah cara dimana negara menjalankan segara urusannya. Sepanjang urusan negara dijalankan sesuai dengan prosedur hukum yg telah ditetapkan, maka ia dianggap sudah menerapkan rule of law. Pemahaman formal akan rule of law disuatu negara memungkinkan negara tersebut menerapkan rule of law dengan melembagakan perbudakan secara legal, diskriminasi secara legal dan sebagainya. Maka rule of law perlu panduan “intuisi dasar” yg mana hukum harus mampu membimbing tingkah laku subjeknya”. Hukum modern tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang legalitas formal, karena ia memiliki jaminan akan kepastian penggunaan hukum terhadap hak seseorang. Hukum modern mewujud dalam peraturan-peraturan yg berfungsi sebagai panduan perilaku. Legalitas formal menjadi bagian dari tatanan masyarakat modern yg didominasi oleh sistem kapitalisme. Rule of law tidak dapat tumbuh subur dalam sistem ekonomi sosialis atau negara kesejahteraan sosial. Hal ini karena dalam sistem ekonomi sosial kurang atau tidak menghargai hak milik individu. Sama juga halnya dengan legalitas formal, demokrasi hukum juga belum menawarkan gagasan hukum yg dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Demokrasi hanya dianggap sebagai prosedur dalam menciptakan hukum, kandungan isi undang-undang tidak dipermasalahkan. Sepanjang aturan tersebut dibuat sesuai dengan standar demorkasi yg diatur dalam undang-undang, maka aturan tersebut tetaplah sah dalam sistem rule of law, meski aturan tersebut dapat juga melembagakan diskriminasi yg legal. Menurut Habermas, legitimasi hukum modern diperoleh dari gagasan bahwa setiap orang dapat menentukan nasibnya sendiri. Ia harus mampu memahami diri mereka sendiri agar dapat menuliskan hukum yg menjadi subjek yg ia terima. Tanpa legalitas formal, demokrasi kehilangan legitimasinya.

1 komentar:

Relevansi Penerapan Otonomi Daerah Saat Ini

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mas...